Harvest Moon BTN Indonesia

Google Earth Offline Installer

Main Game HP di Komputer

Cara Membuat AC Sederhana

Minggu, 27 Mei 2012

Kode Smiley Buat Facebook


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته




Alhamdulillah, hari ini saya masih diberikan kesehatan sehingga saya bisa postingan di Blognya Anak Tembilahan

Kali ini saya akan posting mengenai “Tips & Triks”

Silahkan dicoba !

Suka chating Facebook tapi belum tahu atau lupa Kode Emotion Facebook.. Nah sekarang saya mau share Kode Emotion Facebook Chat khusus buat mereka yang suka chatting di Facebook.  Lumayan bisa menambah semarak tampilan chat sobat.. Ya udah kita simak yuk kode emotion facebook chat dan biar gak lupa ayo di Ctrl + D aja !

KODE SMILE FACEBOOK CHAT STANDART

1.jpg


2.jpg

DIBAWAH INI ADALAH KODE LAINNYA

[[yahoo]]
[[google]]
[[facebook]]
[[kaskus]]
[[amazon]]
[[youtube]]
[[googlechrome]]
[[opera]]
[[internetexplorer]]
[[flock]]
[[microsoft]]
[[microsoftword]]
[[microsoftexcel]]
[[microsoftpowerpoint]]
[[megaxus]]
[[grandchase]]
[[indovision]]
[[history]]
[[sony]]
[[nokia]]
[[telkomsel]]
[[windows]]
[[transformer]]
[[itones]]
[[photosop]]
[[142318662481784]] = Victorbook
[[131763186925449]] = Uksw
[[141996965827812]] = Indonesia
[[137748709592464]] = Indonesia Hiphop Community
[[134068549961650]] = Maluku
[[104527799601292]] = Bali
[[136001599765939]] = Jakarta
[[137951926227398]] = Salatiga
[[140145309347027]] = Topi
[[252346194801306]] = RUMAH 

image-3-copy.jpg


Emotion Text Facebook Format Tulisan Besar

[[196920740401785]] - A
[[113544575430999]] - B
[[294715893904555]] - C
[[294660140569858]] - D
[[328415510520892]] - E
[[270221906368791]] - F
[[212614922155016]] - G
[[205633882856736]] - H
[[256255337773105]] - I
[[288138264570038]] - J
[[296999947008863]] - K
[[216672855078917]] - L
[[278786215503631]] - M
[[241341589270741]] - N
[[312524205448755]] - O
[[200138403410055]] - P
[[165410113558613]] - Q
[[203403609746433]] - R
[[334427926570136]] - S
[[250632158335643]] - T
[[285985351447161]] - U
[[343627398996642]] - V
[[315740851791114]] - W
[[136342506479536]] - X
[[224173507657194]] - Y
[[317710424919150]] - Z

Atau bisa di Kreasikan menjadi sebuah kalimat

MET SIANG
[[147702285338528]] [[196752423751220]] [[334073456605673]] [[316143388416019]] [[164866556948132]] [[244961858909298]] [[309221402452022]] [[251496118250464]]

I LOVE YOU :
[[164866556948132]] [[238594039545396]] [[180901405340714]] [[224202614323263]] [[196752423751220]] [[142420399202282]] [[180901405340714]] [[199626093460643]]

GALAU :
[[251496118250464]] [[244961858909298]] 
[[238594039545396]] [[244961858909298]] 
[[199626093460643]]


Kode Emotion Facebook Lucu dan Unik Lainya
Troll face: [[171108522930776]]
ARE YOU F****NG KIDDING ME: [[143220739082110]]
Me Gusta: [[211782832186415]]
Mother of God: [[142670085793927]]
Cereal Guy: [[170815706323196]]
LOL Face: [[168456309878025]]
NO Guy: [[167359756658519]]
Yao Ming: [[218595638164996]]
Derp: [[224812970902314]]
Derpina: [[192644604154319]]
Forever Alone: [[177903015598419]]
Not Bad : [[NotBaad]]
F*** yeah : [[105387672833401]]
Challenge accepted: [[100002727365206]]
Okay face: [[100002752520227]]
Dumb b***h: [[218595638164996]]
Poker face [[129627277060203]]
Okay face [[224812970902314]]
Official rage face [[FUUUOFFICIAL]]
No [[167359756658519]]
MOG [[142670085793927]]
Feel like a sir [[168040846586189]]
Forever alone christmas. [[125038607580286]]

Jumat, 18 Mei 2012

Cerpen : Pengorbanan Ayah

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته




Alhamdulillah, hari ini saya masih diberikan kesehatan sehingga saya bisa postingan di AriefD’Little Maulana blog’s

Kali ini saya akan posting mengenai “Cerpen”
Artikel ini bersumber dari Blog Remaja Indonesia
Silahkan dibaca !
Oleh : Natania Prima Nastiti
 

Cerpen Ayah
Aku terus melihat ayah dengan sebal saat dia melambaikan tangannya pagi itu untuk berangkat berdagang sayuran di pasar. Aku benar-benar menyesal telah dilahirkan dari rahim seorang wanita berkeluarga miskin. Sekitar lima bulang lalu, ibu pergi untuk selama-lamanya. Saat kepergian ibu, sama sekali tidak ada air mata yang menetes dari mataku. Aku benar-benar benci keluarga miskin ini! ucapku dalam hati. Setelah ayah sudah berbelok, aku langsung berangkat sekolah. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin terlihat bareng dengan pedagang sayur itu.

Di sekolah seperti biasanya. Saat istirahat aku hanya duduk diam di kelas. Aku sama sekali tidak dikasih uang jajan. Penghasilan ayah yang pas-pasan setiap harinya, hanya bisa untuk beli makan untuk di rumah saja. Bekal pun tidak ada. Aku rasa Tuhan tidak adil! Aku benar-benar muak dengan hidupku sekarang! Ingin sekali rasanya aku kabur dari rumah dan mencari keluarga baru yang kaya raya. Tapi aku rasa itu tidak mungkin. Ongkos untuk kabur pun aku tidak punya.

Saat pulang sekolah, ayah sudah pulang duluan. Kulihat ayah memandangi foto ibu yang telah usang. “Dia itu udah mati! Percuma kalo foto diliatin gitu juga nggak bakal ngebuat dia hidup lagi!” teriakku kemudian langsung masuk ke kamar dan membanting pintu kesal. Terdengar suara tangisan ayah. Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Aku kemudian tidur sambil menutup kepalaku dengan bantal gepeng yang usang.

***

“Dasar anak tukang sayur! Udah miskin sok ngatur-ngatur lagi lo! Pergi lo dari kelompok gue!” teriak Metha, salah satu temanku, dia memang anak orang kaya. Kemudian aku pergi dari mejanya. Percuma juga jika aku meladeni bentakannya itu, yang ada teman-teman pasti akan menertawaiku karena ucapan Metha yang menjelek-jelekkanku. Aku pun tidak akan menangis dengan ucapan Metha tadi. Ucapan-ucapan seperti tadi sudah menjadi makanan sehari-hariku. Yah, beginilah kehidupanku. Penuh dengan ejekan. Semua ini karena keluargaku yang miskin! Aku benar-benar stress karena kemiskinan!

“Heh! Ganti pekerjaan kek, Bapak! Aku malu denger semua ocehan temen-temen! Mereka selalu bilang kalo aku anak tukang sayur! Aku malu, Pak! Malu!” teriakku pada ayah sepulang sekolah.

“May, udah sepuluh tahun Bapak kerja seperti ini. ini memang sudah pekerjaan Bapak, May. Mana mungkin bapak menggeluti pekerjaan lain. Bapak juga tidak punya keahlian, May. Maafkan Bapak” sahut ayah sambil menangis. Aku benci ucapan ayah itu! Bukan itu yang aku mau!

“Bodo amat! Pokoknya Bapak nggak boleh jadi tukang sayur lagi!” bentakku kemudian masuk ke kamar dan membanting pintu. Di kamar aku menangis. Meratapi nasibku ini. Kenapa buruk nasibku ini? aku benci! Aku benci semuanya!

Paginya kulihat ayah duduk di depan. Dia tidak pergi ke pasar hari ini. “Pak? Nggak jualan?” tanyaku. Ayah kemudian tersenyum padaku. “Bapak udah nggak jualan sayur, May. Kamaren kan kamu yang bilang supaya Bapak nggak jualan sayur. Sekarang Bapak jualan koran. Dan sebentar lagi juga Bapak berangkat” ucap ayah kemudian. “Ish, dasar! Maksud gue nggak usah jualan sayur, ya jangan jualan koran! Jadi insinyur kek! Biar kita kaya! Kaya raya, Pak!” bentakku kemudian. Ayah menundukkan kepalanya. Sebal melihat ayah, aku langsung pergi untuk berangkat sekolah. Kemudian ayah memegang pundakku dan menyodorkan tangannya. Aku sudah kesal dengan ayah bego itu! Aku tetap pergi tanpa salim padanya. Aku benci dia!

***

Tiga bulan kemudian, ayah berganti pekerjaan sebagai tukang koran. Sama saja! Hidupku tidak berubah sama sekali. Sama seperti dulu. Tidak dapat uang jajan, jarang makan dan tidak ada uang untuk kabur dari rumah! aku benar-benar stress ada di rumah! mau pergi juga pergi kemana? Aku sama sekali tidak ada uang. Bosan sekali aku di rumah ini!

Ayah pulang kemudian duduk di kursi sambil mengelap mukanya yang bercucuran peluh. “May, tolong ambilin Bapak minum. Bapak capek sekali, May” ucap ayah kemudian. “Heh! Enak aja nyuruh-nyuruh lo! Kalo haus, ya ambil minum sendiri! Punya kaki kan? Kalo Bapak nggak punya kaki, baru aku ambilin!” teriakku kemudian pergi meninggalkan ayah sendiri. Kemudian aku pergi keluar rumah. Aku duduk duduk di kursi depan. Sebal rasanya aku dengan ayah. Sudah miskin, sok jadi raja lagi! Minum saja minta ambilin! Punya kaki kenapa harus minta ambilin?! Dasar ayah tidak berguna! Ucapku dalam hati dengan kesalnya.

Besoknya tiba-tiba ayah pulang dengan babak belur. Ayah meringis kesakitan sambil memegang lukanya. Kemudian aku menghampirinya dan bertanya, “kenapa, Pak?”. “Bapak tadi berantem, May. Ada orang yang mengambil barang berharga punya Bapak” jawab ayah sambil meringis kesakitan. “Ish! Ngapain coba pake berantem segala?! Kayak anak kecil aja! rebutan barang lagi! Anak kecil banget tau nggak!” bentakku benar-benar sebal. Dasar orang tua! Sudah tua bukannya banyak nyari uang, malah berantem kayak anak kecil! Bentakku dalam hati. Ih! Aku benar-benar kesal dengan ayah! Sudah tua, miskin, kerjanya hanya merepotkan saja! Rasanya aku ingin cepat kabur dari rumah ini! Rumah gubug ini!

Malam harinya, terbelesit pikiran nakalku. Aku tau bagaimana cara kabur dari rumah kali ini. aku berjinjit masuk pelan ke kamar ayah. Kulihat ayah sedang duduk di kursi depan. Saat di kamar ayah, aku langsung mengobrak-abrik lemari baju ayah. Kucari-cari sesuatu itu. Dan akhirnya... ya! Aku berhasil mendapatkannya! Uang itu, uang untuk kabur itu. Aku berhasil mendapatkannya. Selamat tinggal miskin! Ucapku dalam hati sambil tertawa tidak bersuara. Kemudian kumasukan uang itu ke dalam saku baju. Aku bergegas keluar dari kamar ayah. Saat hendak keluar, tiba-tiba ayah sudah ada di depanku. Aku terkejut melihatnya.

“Kamu kenapa ke kamar Bapak?” tanya ayah padaku. Aku memikir-mikir alasan apa yang masuk akal.

“Emangnya nggak boleh apa ke kamar Bapak?! Miskin aja pake rahasia-rahasian segala! Dasar miskin!” bentakku kemudian. Aku segera masuk ke dalam kamar.

Ku hitung-hitung, uangnya berjumlah empat puluh lima ribu. Untuk apa ayah menyimpan uang sebanyak ini? dasar!. Aku berencana, nanti pagi-pagi sekali pergi dari rumah ini. niatku sudah mantab! Aku akan pergi dari kemiskinan ini! pergi dari ayah yang tidak berguna itu! Ucapku dalam hati dengan mantabnya.

Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Saat hendak keluar kamar, tiba-tiba ada perasaan tidak enak. Aku tidak tau kenapa begitu. Hatiku ini, seperti bilang jangan pergi. Aku takut jika nanti terjadi apa-apa dengan diriku. Setelah lama dilema, akhirnya aku putuskan untuk tidak jadi pergi dari rumah. uang ini, lebih baik aku simpan sendiri saja. Cukup untukku membeli baju. Apalagi.. sebenatar lagi hari ulangtahunku. Aku juga ingin bersenang-senang di hari ulangtahunku. Akhirnya aku menyimpan kembali uang itu. Dan tidak jadi pergi dari rumah. sangat kusesali juga. Tapi.. yasudahlah, mungkin memang ini belum waktunya untuk kabur dari rumah.

***

Seminggu kemudian, tepat di hari ulangtahunku, aku berdandan serapih mungkin. Hari ini aku akan pergi ke pasar untuk membeli baju dengan memakai uang yang ku simpan itu. Saat di perjalanan, tiba-tiba salah seorang tetanggaku menghampiriku dan berkata, “May, May tunggu! Jangan pergi dulu! Emm.. heh.. emm.. anu... Bapakmu.. heh.. Bapakmu.. kec.. kecelakaan!”. Aku terkejut dengan ucapan itu. Entah kenapa aku sedih dengan ucapan tetanggaku itu. Seharusnya aku senang karena ayah kecelakaan! Jadi tidak ada yang merepotkanku lagi. Tidak ada wajah yang menjengkelkan aku lagi. Tapi kali ini.. aku malah sedih. Saat diajak menengok ayah pun aku mengikuti. Kenapa ini? tanyaku pada diri sendiri.

Air mataku menetes saat melihat ayah terbaring di kasur rumah sakit. Lukanya ada dimana-mana. Diselimutnya, masih terbekas darah segar bekas darah ayah. Aku langsung menghampiri ayah. Air mataku terus mengalir sedih. Entah mengapa, aku kasian melihat ayah terbaring seperti ini. Memeluknya.. aku malu sekali melakukan itu. Padahal aku sangat ingin melakukan itu.

Sejam kemudian, ayah sadar. Kemudian dipanggil-panggilnya namaku. Aku pun segera menghampiri ayah. “May, coba tolong liatin kaki Bapak. Bapak merasa tidak nyaman, May. Bapak bener-bener minta tolong kali ini” pinta ayah kepadaku. Kemudian, kubuka selimut ayah dan betapa terkejutnya aku. Kaki ayah.. kaki ayah.. kaki ayah hanya tinggal sedengkul. Kaki ayah ternyata diamputasi. Ayah tidak punya kaki lagi sekarang. Air mataku kembali mengalir saat melihat keadaan kaki ayah sekarang. Tanpa malu, aku langsung memeluk ayah. Sakit hati ini memeluknya. Mengingat perlakuanku kepadanya dulu.

“May, Bapak haus. Tolong ambilkan minum untuk Bapakmu ini, Nak. Kamu sendiri yang bilang kan, jika Bapak tidak punya kaki, kamu yang akan mengambilkan minum untuk Bapak. Sekarang.. Bapak tidak punya kaki lagi, May. Tolong ambilkan minum untuk Bapak, Nak” ucap ayah menangis. Melihat ayah menangis, aku pun jadi ikut menangis. Kemudian kuambilkan minum ke meja. Hatiku kembali sakit mendengar perkataan ayah barusan. Ayah benar. Dulu aku memang pernah berkata seperti itu. Sekarang, aku benar-benar sedih mengingat kata-kataku dulu itu pada ayah.

Ayah kemudian memegang tanganku erat. Kemudian disuruhnya aku mengambil sesuatu di bawah tempat tidur ayah. Saat kulihat, ada baju disana.

“Untuk siapa ini, Pak?” tanyaku kemudian bingung.

“Itu.. untuk..mu, May. Se.. selamat ulangta... hun ya, May. Maaf se... kali karena Bapak hanya bi.. bisa memberi itu untuk... mu” jawab ayah terbata-bata. Aku kembali menangis mendengar ucapan ayah. Kemudian aku peluk ayah dengan erat. Kuucapkan terima kasih pada yah.

“Se.. sebenarnya, uang ya.. ng kamu ambil wak... tu it.. tu, mau Bapak ku.. pulkan un.. untuk membeli kado un.. untukmu, Nak. Bapak ta..u karena saat Bapak li... at lemari, u... uang itu sudah ti.. tidak ada” ucap ayah lagi. Kemudian aku merasa bersalah dengan ayah.

“Maapin aku, Pak. Aku nggak tau kalo uang itu untuk beli kado buat ulangtahunku. Maap, Pak” ucapku malu. Ayah hanya tersenyum padaku. Kemudian dipeluknya aku. Aku sangat merasa bersalah pada ayah. Kenapa aku.. bisa dengan gampangnya berlaku tidak sopan pada ayah dulu? Kelakuanku.. sama saja dengan setan! Aku pun mengumpat diriku sendiri.

Setelah beberapa jam di rumah sakit, kemudian ayah memanggilku lagi. Aku segera berdiri dari kursi tunggu dan mendekati ayah. Kemudian ayah berkata.

“Jaga dirimu baik-baik, May. Maaf karena Bapak tidak bisa menemanimu selamanya. Untuk kedepannya, Bapak akan menemani ibumu disana, May. Di tempat yang jauh itu. Bapak sudah memaafkan semua kesalahanmu. Semua kata-kata kasar darimu, May. Karena Bapak tau, kamu bersikap begitu karena Bapak juga yang hidup miskin begini. Sekarang, kamu bisa tenang tanpa Bapak, May. Bapak sangat menyayangimu. Semoga nantinya kamu bisa tumbuh sebagai wanita yang soleha, May”. Setelah berucap kemudian ayah tersenyum padaku. Sebelum akhirnya... dia memejamkan matanya dengan kedamaian.

“Bapakk!!!! Bapak!!! Jangan tinggalin May, Pak!!! Bangun, Pak!!!! May takut sendirian, Pak!!! May minta maap dengan semua kata-kata May, Pak!!!!! Bapak bangun!!!!! Bapakkkk!!!!!!” teriakku sambil menggoyang-goyangkan tubuh ayah. Tapi ayah sudah tidak mendengar teriakanku lagi. Dia tetap tertidur. Dia diam tidak bergeming. Aku menangis. Kemudian teringat kembali saat aku mengatakan kata-kata kasar kepada ayah. Ayah yang selama ini ternyata selalu menyayangiku. Ini ulangtahun terakhirku bagi ayah. Dan dihari ulangtahun ini, terakhir kalinya aku melihat ayah. Kado terakhir ini... akan aku kenang sampai aku mati. Bapak, maafkan aku, ucapku dalam hati. Tak kuasa aku menahan tangis ini. Ayah sudah tidur untuk selama-lamanya.




Pertama mendengar suara tangisanmu, sujud sukurku pada-Nya..

Pertama kali menggendongmu, hati ini begitu terasa senang..

Pertama kali melihatmu tumbuh, aku berdoa pada-Nya..

Berdoa semoga kau jadi anak yang berguna, Nak..

Semua akan ku korbankan demi dirimu..

Walau nyawaku sekalipun, akan kukorbankan untukmu..

Untuk membuatmu senang..

Melihat senyummu, sangat membuat hidupku berarti..

Melihat air matamu, membuat duniaku ikut bersedih..

Nak, isilah hari-harimu dengan senyum dan tawa..

Aku menyayangimu, anakku...

Selamanya akan tetap menyayangi dirimu..

 

Cerpen : MY YOUNG STEP FATHER ?

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته




Alhamdulillah, hari ini saya masih diberikan kesehatan sehingga saya bisa postingan di Arief D’Little Maulana blog’s

Kali ini saya akan posting mengenai “Cerpen”
Artikel ini bersumber dari Blog Remaja Indonesia
Silahkan dibaca !
Oleh : Putri Permatasari

Cerpen Romantis
Donna muncul ke permukaan kolam renang dengan anggun. Tungkai kakinya yang panjang dan langsing diayunkannya untuk menaiki tangga kolam. Ia mengambil handuk kimononya di kursi dan memakainya, lalu menyisir rambutnya yang lurus panjang dengan jemarinya yang lentik. Saat akan mengambil crush lemon lime, Donna baru menyadari keberadaan seseorang.
“Rafdy.” Donna melangkah mundur, ia menyipitkan matanya. Ia memandangi pria di hadapannya dengan dingin. Diangkatnya wajahnya. “Ibu tidak ada, percuma kau kemari.”
Rafdy tetap berdiri di tempatnya. Jasnya berwarna hitam serasi dengan celana panjang hitamnya. Ia tidak memedulikan sikap dingin Donna. “Apakah kautahu Ibumu pergi ke mana, calon anakku?”
Donna menggertakkan giginya. Beraninya ia menyebutku calon anaknya! Usiamu hanya beberapa tahun di atasku dan lebih muda dari kakak pertamaku, Dina! Kau lebih pantas menjadi anak Ibuku! maki Donna dalam hati.
“Ibu pergi keluar kota.” Donna tersenyum sinis. Ia mengambil crush dan meminumnya. “Kasihan sekali kau. Kau ‘kan kekasih Ibuku, tapi Ibu tidak memberitahumu ia pergi ke mana.”
Rafdy mengangkat alisnya tak acuh. “Apakah ia memberitahukan ke kota mana?”
“Kau memuakkan! Apakah kau tidak bisa mencari wanita lain? Apakah menurutmu Ibuku yang sudah berusia 47 tahun itu begitu menarik di matamu?” Donna membanting crush ke lantai semen. Napasnya tersengal dan wajahnya memerah karena marah. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya.
Rafdy berjalan dengan tenang ke arah Donna. Dielusnya pipi kanan Donna dengan punggung tangannya. “Lalu bagaimana? Apakah aku harus mencintaimu, begitu?”
Dengan marah Donna mencengkeram tangan Rafdy dengan kuat. “Jaga mulutmu, brengsek!”
“Kau yang harus menutup mulutmu.” Dengan mudah Rafdy melepaskan cengkeraman Donna. Diremasnya bahu Donna dengan kasar. Mata Rafdy berkilat marah. “Kau lebih muda dariku. Kau tahu, kau tidak lebih cantik dari Ibumu.” Lalu ia melepaskan Donna dan pergi ke dalam rumah dengan langkah panjang, tegap, dan angkuh. “Dan ingat, jangan membuang-buang minuman.” ujarnya tanpa menoleh.
Donna mengentakkan kakinya dengan kesal, melepas handuk kimono sembarangan, dan terjun kembali ke air. Aku harus mendinginkan kepalaku, pikir Donna.
***
Di rumah Dina….
“Oh, jadi Ibu masih menemuinya?” tanya Dina.
Donna mengerang kesal. “Tentu saja! Kak Dina, aku tidak tahu harus bagaimana lagi! Aku…aku kasihan pada Dhena dan Gema, tapi aku juga sayang Ibu!”
Dina merangkul adiknya dan mengelus punggungnya dengan sayang. “Tapi kurasa Dhena dan Gema menyayangi Rafdy, dan Rafdy pun sayang pada mereka.”
Donna menatap kakaknya sambil mengerutkan kening. “Kakak pun tahu ia hanya ingin uang Ibu! Ia hanya memanfaatkan Ibu!” Donna menahan air matanya dengan menggigit bibir bawahnya. “Kenapa harus Ibu?”
Dina mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Aku akan bicara dengan Andi, biar ia menasehati Ibu.”
“Suamimu? Kakak, hal ini….”
“Donna, Andi tahu apa yang harus dilakukan.”
“Baiklah, aku serahkan padamu, Kak.” Donna agak tenang melihat senyum Dina. Lihat saja, Rafdy! Takkan kubiarkan kau memanfaatkan Ibuku!”
Dua hari kemudian….
“Ibu, jadi kita akan menonton bioskop bersama?” Dhena bersorak riang. Ia merangkul Ibunya. Dhena adalah adik Donna yang berusia 14 tahun.
Gema menatap ragu. “Kenapa Paman Rafdy tidak ikut dengan kita, Bu?”
Donna melirik Gema kesal. Ia menggigit bagian dalam bibirnya. “Paman Rafdy? Untuk apa ia ikut kalian, Gema?”
Retna mengelus rambut Gema dengan sayang. Ia tersenyum pada anaknya yang berusia 12 tahun itu. “Paman Rafdy sedang sibuk. Apa kau rindu padanya?”
“Ibu!”
Retna memandang Donna. “Sayang, maafkan Ibu.” Retna melirik Gema dan Dhena. “Ayo, Ibu rasa kita harus bergegas, filmnya keburu dimulai.” Retna menggandeng Gema dan Dhena  menuju pintu. “Kau yakin kau lebih suka bersama Andre, Sayang? Hm, Ibu yakin itu adalah pertanyaan retoris.” Retna mengedipkan matanya, lalu berlari dengan kedua adik Donna.  Mereka naik Starlet Metalik, mobil yang dimiliki Retna setelah Retna lulus SMU, saat ia menikah dengan Ayah Donna.
Donna menghempaskan diri ke sofa dan menyetel TV. Beberapa menit kemudian Andre telah duduk di sampingnya. Mereka menikmati DVD yang dibawa Andre. Anime horor Another. Saat Donna sedang tegang menonton Another, tiba-tiba Andre mendorong dan memeluknya ke sudut sofa. Andre bermaksud untuk menciumnya. “Andre, kurasa….”
“Ehem. Malam minggu memang mendukung untuk suasana yang romantis.”
Donna terkejut. Ia langsung bangkit setelah Andre melompat berdiri. Donna merasa sangat malu. Wajahnya terasa panas dan pastinya memerah sampai telinga. “Apa yang kaulakukan di sini? Bagaimana kau bisa seenaknya masuk?” Donna berdiri, menatap angkuh pada Rafdy.
Rafdy mengangkat alisnya Donna tahu, itu kebiasaannya dan balas menatap Donna. “Apa kau tidak tahu? Pintu belakang tidak dikunci. Kurasa Bi Tina lupa menguncinya.” Ia menatap Andre, membuat cowok itu rikuh.
“Kurasa sebaiknya kau keluar, Rafdy!”
“Donna….” Andre berusaha menenangkan Donna, namun Donna tetap menatap angkuh pada Rafdy.
Rafdy melipat lengannya. Malam ini ia mengenakan kemeja pantai dan celana panjang hitam. Rambutnya dipangkas ala Tin-tin. Mau tak mau Donna menyukai penampilan Rafdy. “Andre, sekarang sudah jam setengah sebelas malam. Kurasa remaja seperti kalian tidak baik kencan terlalu malam.”
Andre bermaksud menyanggah ucapan Rafdy, namun keduluan Donna, “oh, begitu? Kurasa perbedaan usia kita hanya lima tahun. Kami mau kencan sampai jam berapa pun, itu bukan urusanmu!”
“Jelas itu urusanku. Apa kau lupa bahwa aku ini calon Ayah tirimu?”
Sebelum Donna sempat membalas kata-kata Rafdy, Andre memegang bahu Donna. “Kurasa benar apa katanya, aku harus pulang.” Andre mengecup pipi Donna ringan lalu tersenyum. “Sampai besok, Donna sayang.” Andre terseyum hormat pada Rafdy, lalu pergi. Donna memandangi kepergian Panther hitam Andre melalui kaca jendela ruang tamu.
“Kau takkan pernah menjadi Ayah tiriku. Takkan pernah!” Donna mencengkeram tirai bercorak ikan tropis dengan latar biru laut.
Rafdy memutar tubuh Donna sehingga mereka berhadap-hadapan. “Aku melakukan hal itu demi kebaikanmu. Tadi kalian bisa saja lepas kendali.” Suaranya tenang. Matanya yang hitam menatap langsung.
Donna membelalakkan matanya. Suaranya bergetar marah saat berkata, “aku bisa menjaga diriku sendiri! Dan kau, Rafdy, Ibu tidak mau melihatmu lagi! Bukankah ia telah memutuskan hubungan denganmu?”
Rafdy mengangkat bahu. Ia berjalan ke ruang keluarga dan menonton anime horor Another yang masih diputar . “Retna takkan memutuskan hubungan denganku karena ia sangat mencintaiku. Begitu pun aku.”
Cinta? Kau tidak mencintai Ibuku, melainkan harta Ibuku! Dasar brengsek! maki Donna dalam hati. “Apa? Ibuku tidak memutuskan hubungan denganmu oh!” Donna mengerang kesal dan putus asa. Jadi nasihat Kak Andi sama sekali tidak dipedulikan Ibu!
“Duduklah, kau tidak mau melanjutkan menonton anime ini?” Rafdy sama sekali tidak peduli akan kepanikan Donna.
“Tidak, terima kasih. Aku mengantuk.” Siapa sudi nonton berdua denganmu!
“Putih….”
“Apa?”
“Kulitmu putih walau kau sering berada di bawah terik matahari.”
Mata Donna yang cokelat muda menerawang. “ Turunan Ayah….”
Rafdy bersandar di sofa empuk berwarna cokelat tua. “Jelas kau tidak menyukai Ayahmu, lalu kenapa kau tidak mau aku menjadi Ayahmu?”
“Tidak!” Donna menggeleng. Ia meremas tangan kirinya sendiri sambil menunduk. “Aku memang tidak menyukai Ayahku, sebab ia pergi beberapa saat sebelum Gema lahir. Tapi bagaimanapun, aku tidak ingin kau menjadi Ayah tiriku! Karena kau hanya menginginkan harta Ibuku!”
Tiba-tiba Rafdy bangkit dan mendekati Donna. Ia mencengkeram bahu Donna dengan kuat. Matanya menyipit, menyelidik. “Jangan kauucapkan hal itu lagi, kau tahu? Aku bukan orang tolol! Aku sungguh-sungguh mencintainya, dan aku lebih baik dari Ayahmu yang tolol itu!”
“Jangan sebut Ayahku tolol!”
“Lalu apa? Bodoh?”
“Kau…!”
Bunyi bel menghentikan pertengkaran mereka. Donna melepaskan diri. Ia memunggungi Rafdy. “Silahkan menemui Ibuku. Tapi ingat, bukan berarti aku menyetujui kalian. Rafdy, jangan hina Ayahku lagi….” Lalu Donna pergi ke kamarnya di lantai atas, sebelum Rafdy membukakan pintu untuk Retna dan kedua anaknya.
Donna mengambil foto berbingkai cokelat muda di laci terbawah meja belajarnya. Ia memandangi foto itu: Ibunya yang sedang mengandung, Dina, Donna, dan Dhena yang digendong oleh seorang pria tampan. Ayah jahat! Kenapa meninggalkan kami semua? Hanya karena wanita iblis itu! Air mata Donna menetes. Ia terus merutuki Ayahnya Hery sambil menangis, hingga terlelap di meja belajarnya.
***
“Kau terlihat ling-ling, Donna. Ada apa?” Andre menyentuh pipi Donna dengan jemarinya. Ia tersenyum sayang. “Kau bisa menceritakan masalahmu. Apakah tentang Rafdy lagi?”
Donna yang sedang bersandar di bahu Andre, mengangguk. Andre merangkul dan menepuk-tepuk bahunya. “Ceritakanlah bila itu membuatmu sedikit lega.”
Donna memandang ke sekitar taman kampusnya yang luas, yang dipenuhi mahasiswa dan mahasiwi yang berlalu lalang, bangku taman, dan pepohonan hijau rindang. Ia sedang berteduh di bawah pohon besar bersama Andre. “Apakah selama ini aku salah, Andre? Aku selama ini menganggap bahwa Rafdy hanya menginginkan harta Ibuku, tapi semalam ia bilang ‘tidak’.” Donna mengangkat bahu. “Memang, adik-adikku, kakakku, kakak iparku, terutama Ibuku, tidak terlalu ambil pusing menanggapi anggapanku tentang Rafdy. Mereka menyukai Rafdy. Kak Dina dan suaminya, Kak Andi, hanya menaruh sedikit curiga pada Rafdy. Kurasa kau pun….”
Andre mengangkat bahu. “Memang, aku menyukai dan menghormati Rafdy. “ Andre terlihat canggung.
“Tapi aku merasa ia tidak sungguh-sungguh mencintai Ibuku…Memang tidak ada buktinya. Malah sebaliknya, Rafdy terlihat sangat menyayangi dan memanjakan Ibuku.”
Andre menepuk kedua pipi Donna. “Itu saja sudah cukup ‘kan?” Andre tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
***
“Baiklah, kau bisa diandalkan, bukan?”
“Ya, Retna.”
“Bagus.” Retna cipika-cipiki sekilas dengan Rafdy. “Aku memercayakan urusan kantor dan keluargaku padamu. Sampai nanti!” Retna menaiki Starletnya dengan anggun, melambai, lalu menghilang dari pandangan.
Rafdy berbicara dengan Bi Tina sebentar, lalu menaiki Taft hijau tuanya, meninggalkan kepulan asap yang membuat Bi Tina terbatuk-batuk.
***
“Apa? Ibu keluar kota untuk urusan bisnis lagi?” Donna meminum air dingin setelah selesai makan malam.
Bi Tina mengangguk. “Tapi Nona tidak usah khawatir karena Tuan Rafdy akan menemani.”
Donna mendengus. “Itulah yang kukhawatirkan. Bilang pada ‘Tuan’ Rafdy, kami tidak butuh perlindungannya.”
“Kurasa kalian membutuhkanku.”
Gema turun dari kursi dan ber-high five dengan Rafdy. “Aku senang Paman mau menemani kami!” Ia melirik tas hitam bergaris merah di dekat kaki Rafdy. “Bawaan Paman hanya sedikit?”
“Ya. Lagipula hanya tiga hari.”
“Waktu yang sangat lama.” Donna berusaha keras untuk tidak membentak-bentak dan mengusir Rafdy. Ia tidak ingin dianggap sinting oleh kedua adiknya. Bi Tina sudah tahu bahwa Donna memusuhi Rafdy, pria yang dianggap tertinggi, terganteng, termacho, dan terseksi yang pernah ditemui oleh Bi Tini. “Maksudku, waktu yang amat sangat singkat, Paman Rafdy….”
Rafdy berusaha menyembunyikan senyumnya. “Tadinya Paman akan mengajak kalian makan pizza, tapi ternyata sudah telat, ya?”
“Kurasa perut kami masih muat, Paman!” Dhena menunjuk perutnya sambil nyengir. “Tambah ice cream?”
Tawa Rafdy terdengar memuakkan di telinga Donna. Bohong, kau menyukainya, Donna! Donna menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan pikiran sintingnya. Dengan halus Donna menolak ajakan Rafdy untuk makan pizza di Pizza Hut, dengan alasan harus belajar untuk ulangan besok.
Beberapa menit kemudian Donna sedang membaca majalah sambil tiduran di kamarnya. Ia tidak bisa berkonsentrasi sama sekali. Ia cemas memikirkan kedua adiknya. Bagaimana jika kedua adiknya diculik, ditawan, Lalu Rafdy meminta tebusan? Oh, tidak, tidak. Saat ini Donna lebih suka berpikir bahwa Rafdy orang baik-baik, walaupun Donna ragu.
Paginya Donna langsung ke kamar kedua adiknya. Donna menghela napas lega melihat mereka tertidur nyenyak. Donna hampir berteriak saat Rafdy menyentuh bahunya. “Kau membuatku terkejut!” Donna menutup pintu kamar Dhena dan Gema lalu berjalan menuju balkon. Ia yakin Rafdy mengikuti di belakang.
“Hawanya sejuk.” Rafdy meregangkan ototnya. Donna hanya mengangguk tak acuh. “Donna, aku takkan meminta maaf soal aku menghina Ayahmu, karena ia….”
“Karena ia memang tolol yang…yang….” Tangisan Donna teredam oleh pelukan Rafdy. “Lepaskan aku.” Bertolak belakang dengan ucapannya, Donna malah memeluk Rafdy dan ia semakin membenamkan kepalanya ke dada Rafdy yang bidang dan hangat. “Aku benci Ayah!”
Lengan Rafdy melingkari tubuh Donna. Ia mengelus bahu Donna lalu memeluknya dengan erat. Rafdy tidak mengucapkan apa-apa untuk menghibur Donna. Hanya memeluk.
“Rafdy….”
“Ya….”
“Aku harus mandi…ada kuliah.”
Rafdy melepaskan pelukannya. “Mau diantar?”
“Tidak, aku tak butuh.” Donna menatap Rafdy dengan bingung. “Aku tahu, aku merasa nyaman sekaligus tidak nyaman dalam pelukanmu.”
“Kenapa?”
Ia tidak menjawab pertanyaan Rafdy. Donna malah tersenyum sinis, lalu ia masuk ke dalam.
Senyuman menghiasi wajah Rafdy. Ia bersandar di sebuah pilar sambil melipat lengan. “Kalau begitu, aku akan mencari tahu, Manis….” Suaranya nyaris berbisik, dan penuh kerinduan.

“Hei, Donna, ada yang jemput, tuh! Rafdy, kata Ibuku. Kau memberitahu akan belajar kelompok di rumahku, Don? Bukankah  kau tidak suka pada calon Ayah tirimu itu?”
Donna mengerutkan keningnya dan memandang Silvy, temannya. “Tidak, aku tidak memberitahu Rafdy kalau aku di sini. Ini pasti kerjaan Andre!” Donna mengerang kesal. Ia melihat jam di dinding, pukul 20.10. “Aku ‘kan sudah bilang pada Andre kalau kau akan mengantarku pulang, Sil.”
Silvy mengangkat bahu. “Apa perlu kukatakan pada Rafdy bahwa….”
“Tidak perlu. Donna, ayo pulang.” Rafdy berdiri di muka pintu kamar Silvy. Ia mengenakan sweatshirt biru dongker dan jeans biru pudar. “Selamat malam, Gadis-gadis.” Donna tahu, pasti Silvy terpesona oleh senyuman Rafdy. Dan itu memang benar. Sejak pertama bertemu, Silvy sudah terpesona, seperti halnya Bi Tina.
“Rafdy, kami masih belajar, jadi….”
“Ayo pulang, Donna.”
Dengan kesal Donna merapikan alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia tidak ingin membuat keributan di rumah Silvy, jadi ia tidak membantah lagi. Dalam perjalanan pulang, Donna menyetel radio keras-keras.
“Kau menyetel musik tapi kau tidak menikmatinya.”
“Kata siapa?”
“Terlihat, tentu saja. Kau memandang keluar jendela, diam, melamun.” Rafdy memindahkan saluran radio. Terdengar alunan lagu yang lembut dan romantis.
Donna tidak mencegahnya. Ia menatap keluar ke kegelapan malam. “Lalu apa urusanmu?” tanyanya ketus.
Tangan kiri Rafdy menyentuh bahunya dan ia tidak berusaha menghindar. Rafdy mengangkat sebelah alisnya, heran karena Donna tidak menolak. Seperti tadi pagi, saat Rafdy memeluknya, Donna malah balas memeluk. “Donna, apa kau benar-benar membenci Ayahmu?”
“Ya.”
“Tapi kenapa kau tetap membela Ayahmu? Oh, aku tahu, kau pasti berpikir bahwa orang hina sepertiku tidak pantas menghina Ayahmu.” Suara Rafdy tenang tanpa emosi, hingga membuat Donna menoleh.
“Itu salah satunya. Meskipun begitu, dalam lubuk hatiku, aku ingin Ayahku kembali….” Lalu Donna tiba-tiba sadar. Ia menggigit bibirnya dengan kesal. “Aku betul-betul bodoh. Aku tidak pernah bercerita pada siapa pun tentang hal ini, tapi aku malah bercerita padamu!”
“Tidak juga pada Andre?”
Dengan enggan Donna menggeleng. Dalam kegelapan, Donna dapat melihat senyum Rafdy.
“Aku mendapat kehormatan, kalau begitu.”
“Ya, yang akan kusesali seumur hidupku.” Donna tersenyum pahit. Seandainya Ayah kembali, pasti Ibu takkan mau menerima. Pasti Ibu masih sangat sakit hati….”
***
Seminggu setelah Retna kembali ke rumah, giliran Rafdy yang tugas keluar kota. Pada hari kedua kepergian Rafdy, Rafdy menelepon. “Oh, hai, Paman. Kau masih hidup?”
“Sayang sekali, aku masih hidup. Boleh aku berbicara dengan Retna?”
“Tidak, ia sedang berbelanja….”
“Berikan telepon itu, Sayang.”
Donna memberikan telepon pada Ibunya sambil menggerutu lalu pergi ke ruang keluarga sambil membawa majalah yang tadi dibacanya. Beberapa saat kemudian Andre datang ke rumahnya. “Malam minggu ini kau terlihat muram.” Andre duduk di sampingnya dan bermaksud merangkulnya. Tak seperti biasanya, kali ini Donna menolak. “Donna? Kenapa? Kau tak suka aku memelukmu?”
“Bukan, aku….”
“Apa ada pria lain?”
Donna membelalakkan matanya terkejut. “Aku tidak tahu, aku….”
“Aku tahu ada yang lain, Donna. Rafdy ‘kan.”
“Tidak! Apa kau gila! Dia kekasih Ibuku! Calon Ayah tiriku! Dan aku sangat membencinya!”
Andre menenangkan Donna. “Tak perlu marah. Aku tahu Donna, aku peka soal dirimu.”
Wajah Donna memerah. Ia memejamkan matanya. Ia menyandar ke punggung sofa, putus asa. Tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup kencang.  “Aku tidak tahu, Ndre. Aku benci Rafdy, tapi entah kenapa akhir-akhir ini aku selalu salah tingkah di dekatnya. Tadi ia menelepon, dan aku kesal. Ia menelepon Ibu, bukan aku.” Donna tertawa putus asa. “Aku sudah gila….” Andre memeluknya. “Andre, maafkan aku….”
“Untuk saat ini biarkan aku memelukmu….”
***
Terkejut. Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Donna saat ini. Donna ternganga menatap sosok di hadapannya. “Ayah?”
Hery memandang Donna, matanya berkaca-kaca. “Kau banyak berubah, Donna. Kau tambah cantik dibanding dua belas tahun yang lalu.”
Donna ragu, dengan canggung ia memeluk Ayahnya. “Sepertinya Ayah tambah kurus.”
Hery merangkul putri keduanya itu dengan erat dan penuh kerinduan. “Donna, apa kau tidak membenci Ayah?”
Donna mundur selangkah. “Waktu itu Ayah khilaf, bukan? Ayah tidak sungguh-sungguh mencintai Tante Utami, bukan?”
Hery memandangnya. “Dulu Ayah berpikir bahwa Ayah mencintai Tante Utami. Tetapi setelah beberapa bulan menikahinya, Ayah baru menyadari siapa yang benar-benar Ayah cintai….” Hery menahan tangisnya.
“Aku dulu membenci Ayah. Tapi aku selalu memikirkan Ayah. Aku tahu dari Ibu bahwa pernikahan Ayah hanya berlangsung beberapa bulan saja, bercerai, tanpa anak.” Donna menggigit bibir bawahnya. “Kenapa Ayah tidak kembali?”
“Setelah Ayah bercerai dengan Tante Utami, Ayah pernah mencoba beberapa kali agar Ibumu menerima Ayah lagi. Namun Ibumu selalu menolak. Dan menurut Ibumu, anak-anak Ayah membenci Ayah, kau dan Dina tepatnya.
”Kakak, ada siapa?” Dhena menghentikan langkahnya dan memandang pria yang merangkul kakaknya itu. Ia berusaha mengenali wajah pria itu. “Wajahmu mirip dengan di foto, pria yang menggendongku…apakah…Ayah?”
“Dhena Sayang….”
Dhena menghambur ke pelukan Hery. “Ayah, kau benar-benar Ayah? Ayah ke mana saja selama ini?”

Untuk kedua kalinya, Donna terkejut hari ini. Ia menatap Ibunya. “Apa? Jadi…?”
“Ya, jadi beberapa bulan yang lalu Ayahmu kembali menemui Ibu. Dan setelah berpikir masak-masak, akhirnya Ibu menyadari bahwa Ibu masih teramat mencintai Ayah, dan ingin menikah lagi dengan Ayah.”
Donna, Dina dan suaminya, kedua orang tuanya, dan Rafdy tengah duduk di ruang keluarga. Dhena dan Gema sudah tidur di kamar mereka karena waktu telah menunjukkan pukul 11.15. “Lalu bagaimana dengan Rafdy? Apakah ia bagian dari sandiwara ini?”
“Pemeran utama. Rafdy adalah sahabat Ayahmu, yang mendamaikan kami.” Retna tersenyum pada Hery dan Hery merangkulnya hangat.
“Ibu….” Dina yang sedari tadi diam mulai bicara. “Apa maksudnya pemeran utama?”
Retna mengangkat bahu. “Mengetes. Apakah kalian ini masih membenci Ayah atau tidak. Ibu takut kalian tidak mau menerima Ayah karena Ibu tahu, kalian tidak menyukai pengkhianatan Ayah seperti juga Ibu.”
“Jadi Rafdy turun tangan.” Hery meremas tangan istrinya. “Dan 2 minggu yang lalu, Donna mengakui isi hatinya tentang Ayah. Begitu juga Dina.”
Donna memandang pria yang sedang diperbincangkan. Pria itu duduk dengan santai di sofa. Kaki kanannya ditumpangkan di kaki satunya. Matanya yang hitam balas memandang Donna. Ia sama sekali tidak tersenyum. Tiba-tiba ia berdiri. “Oke, kurasa semua sudah beres. Aku harus menyingkir, lagipula sudah malam.”
Hery memintanya untuk menginap namun Rafdy menolaknya dengan halus.
Donna memandang kosong ke arah Rafdy yang meninggalkan ruang keluarga, diantar Hery, Retna, Dina, dan Andi. Pergi? Menyingkir? Apakah maksudnya Donna takkan bertemu lagi dengannya? Donna merasa dadanya sesak dan tubuhnya gemetar. Ia langsung berdiri dan berlari mengejar Rafdy. Ia sampai menabrak Ibunya di teras depan. Di halaman tempat Taft Rafdy diparkir, Donna menarik tangan pria itu. Napas Donna tersengal dan tak terasa pipinya telah basah. “Aku belum minta maaf padamu! Selama ini aku selalu bersikap kasar!”
Rafdy terkejut, hanya sedetik. Ia tersenyum dan menghapus air mata Donna. “Wajar saja. Jika aku jadi kau, kurasa aku akan melakukan hal yang sama.” Rafdy menatapnya lembut. “Baik-baiklah dengan Andre.”
“Kami sudah putus.” ujar Donna cepat. Seperti dugaan Donna, Rafdy mengangkat sebelah alisnya. Karena itu Donna meneruskan, “karena ada pria lain….”
“Begitu?”
“Pria itu…kau, Rafdy.”
Kali ini Rafdy benar-benar terkejut. Ia memandang ke teras yang ternyata telah kosong. Wajah Rafdy memerah dan ia berdiri canggung. “Aku tidak tahu harus berkata apa.”
Donna tersenyum. Ia mengusap air matanya yang masih terus mengalir. Ia menahan rasa sakit di dadanya. “Aku tahu, kau benar-benar mencintai Ibuku. Sikapmu pada Ibu sepertinya nyata.”
“Hei, Nona, jangan sembarangan. Aku menghormatinya, tidak lebih.” Rafdy menarik napas dan menghembuskannya perlahan. “Sebenarnya aku tidak suka untuk mengakui rahasiaku. Sepuluh tahun lalu aku bertemu Ayahmu, dan Aku jatuh cinta pada pandangan pertama padamu saat melihat fotomu yang selalu dibawa-bawa Ayahmu.”
“Kau bohong!” Jantung Donna berdegup kencang.
Rafdy menyelusupkan kedua tangannya ke belakang leher Donna, menyibakkan rambut panjang Donna, dan menariknya mendekat. Angin malam menerpa mereka, membuat Donna menggigil. Rafdy mempererat pelukannya. “Sungguh. Tapi aku agak takut juga saat kau memelototiku sewaktu Retna memberitahukan bahwa kami berpacaran.” Rafdy tersenyum mengingat hal itu. “Apakah kau sungguh jatuh cinta padaku?”
“Ya….”
“Boleh aku tahu ucapan nyaman tidak nyaman itu?”
“Yah, aku merasa aneh…entah kenapa aku merasa nyaman dalam pelukanmu, tapi tentu saja tidak nyaman karena kau pacar Ibuku….” Donna tersipu. Ia mencengkeram kemeja Rafdy. “Tadi kau bilang akan menyingkir? Jangan pergi, Rafdy. Tetaplah di sini.”
“Aku hanya pulang ke apartemenku, karena sudah malam.” Rafdy tidak bisa menahan senyumnya. “Yah, tadinya aku berniat pulang ke kota asalku, tapi karena ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan, jadi…aku akan tetap di sini menemanimu.”
Donna tersenyum penuh harap. “Sungguh?”
“Benar. Kalau begitu, kau mau menjadi kekasihku?”
“Mau!” Donna menjawab dengan semangat.
 “Baiklah, selamat malam.” Rafdy melepaskan pelukannya dengan enggan, karena sebenarnya  ia masih ingin memeluk Donna. “Boleh aku mengantarmu ke kampus besok?”
Donna mengangguk. “Sampai besok! Oyasuminasai!”
“Apa?”
“Have a nice dream.” Donna mengecup pipi Rafdy dengan malu-malu, lalu berlari masuk ke dalam rumah.
Rafdy terkejut karena Donna mencium pipinya. Ia tersenyum lembut. Ia berbalik dan menaiki Taftnya, lalu melajukan Taftnya dengan santai, sementara dadanya bergemuruh. Yes, akhirnya Donna jatuh cinta padaku! Rafdy tidak bisa tidak tersenyum. Ia bersiul-siul gembira menuju apartemennya. Ia berpikir ia tidak akan bisa tidur, tak sabar menanti hari esok untuk bertemu kembali dengan Donna, gadis yang selama sepuluh tahun ini selalu dirindukan dan hadir dalam setiap mimpi-mimpinya!