Donna
muncul ke permukaan kolam renang dengan anggun. Tungkai kakinya yang
panjang dan langsing diayunkannya untuk menaiki tangga kolam. Ia
mengambil handuk kimononya di kursi dan memakainya, lalu menyisir
rambutnya yang lurus panjang dengan jemarinya yang lentik. Saat akan
mengambil crush lemon lime, Donna baru menyadari keberadaan seseorang.
“Rafdy.”
Donna melangkah mundur, ia menyipitkan matanya. Ia memandangi pria di
hadapannya dengan dingin. Diangkatnya wajahnya. “Ibu tidak ada, percuma
kau kemari.”
Rafdy
tetap berdiri di tempatnya. Jasnya berwarna hitam serasi dengan celana
panjang hitamnya. Ia tidak memedulikan sikap dingin Donna. “Apakah
kautahu Ibumu pergi ke mana, calon anakku?”
Donna menggertakkan giginya. Beraninya ia menyebutku calon anaknya! Usiamu hanya beberapa tahun di atasku dan lebih muda dari kakak pertamaku, Dina! Kau lebih pantas menjadi anak Ibuku! maki Donna dalam hati.
“Ibu pergi keluar kota.” Donna tersenyum sinis. Ia mengambil crush dan meminumnya. “Kasihan sekali kau. Kau ‘kan kekasih Ibuku, tapi Ibu tidak memberitahumu ia pergi ke mana.”
Rafdy mengangkat alisnya tak acuh. “Apakah ia memberitahukan ke kota mana?”
“Kau
memuakkan! Apakah kau tidak bisa mencari wanita lain? Apakah menurutmu
Ibuku yang sudah berusia 47 tahun itu begitu menarik di matamu?” Donna
membanting crush ke lantai semen. Napasnya tersengal dan wajahnya memerah karena marah. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya.
Rafdy
berjalan dengan tenang ke arah Donna. Dielusnya pipi kanan Donna dengan
punggung tangannya. “Lalu bagaimana? Apakah aku harus mencintaimu,
begitu?”
Dengan marah Donna mencengkeram tangan Rafdy dengan kuat. “Jaga mulutmu, brengsek!”
“Kau
yang harus menutup mulutmu.” Dengan mudah Rafdy melepaskan cengkeraman
Donna. Diremasnya bahu Donna dengan kasar. Mata Rafdy berkilat marah.
“Kau lebih muda dariku. Kau tahu, kau tidak lebih cantik dari Ibumu.”
Lalu ia melepaskan Donna dan pergi ke dalam rumah dengan langkah
panjang, tegap, dan angkuh. “Dan ingat, jangan membuang-buang minuman.”
ujarnya tanpa menoleh.
Donna mengentakkan kakinya dengan kesal, melepas handuk kimono sembarangan, dan terjun kembali ke air. Aku harus mendinginkan kepalaku, pikir Donna.
***
Di rumah Dina….
“Oh, jadi Ibu masih menemuinya?” tanya Dina.
Donna
mengerang kesal. “Tentu saja! Kak Dina, aku tidak tahu harus bagaimana
lagi! Aku…aku kasihan pada Dhena dan Gema, tapi aku juga sayang Ibu!”
Dina
merangkul adiknya dan mengelus punggungnya dengan sayang. “Tapi kurasa
Dhena dan Gema menyayangi Rafdy, dan Rafdy pun sayang pada mereka.”
Donna
menatap kakaknya sambil mengerutkan kening. “Kakak pun tahu ia hanya
ingin uang Ibu! Ia hanya memanfaatkan Ibu!” Donna menahan air matanya
dengan menggigit bibir bawahnya. “Kenapa harus Ibu?”
Dina mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Aku akan bicara dengan Andi, biar ia menasehati Ibu.”
“Suamimu? Kakak, hal ini….”
“Donna, Andi tahu apa yang harus dilakukan.”
“Baiklah, aku serahkan padamu, Kak.” Donna agak tenang melihat senyum Dina. Lihat saja, Rafdy! Takkan kubiarkan kau memanfaatkan Ibuku!”
Dua hari kemudian….
“Ibu,
jadi kita akan menonton bioskop bersama?” Dhena bersorak riang. Ia
merangkul Ibunya. Dhena adalah adik Donna yang berusia 14 tahun.
Gema menatap ragu. “Kenapa Paman Rafdy tidak ikut dengan kita, Bu?”
Donna melirik Gema kesal. Ia menggigit bagian dalam bibirnya. “Paman Rafdy? Untuk apa ia ikut kalian, Gema?”
Retna
mengelus rambut Gema dengan sayang. Ia tersenyum pada anaknya yang
berusia 12 tahun itu. “Paman Rafdy sedang sibuk. Apa kau rindu padanya?”
“Ibu!”
Retna
memandang Donna. “Sayang, maafkan Ibu.” Retna melirik Gema dan Dhena.
“Ayo, Ibu rasa kita harus bergegas, filmnya keburu dimulai.” Retna
menggandeng Gema dan Dhena menuju pintu. “Kau yakin kau lebih suka
bersama Andre, Sayang? Hm, Ibu yakin itu adalah pertanyaan retoris.”
Retna mengedipkan matanya, lalu berlari dengan kedua adik Donna. Mereka
naik Starlet Metalik, mobil yang dimiliki Retna setelah Retna lulus
SMU, saat ia menikah dengan Ayah Donna.
Donna
menghempaskan diri ke sofa dan menyetel TV. Beberapa menit kemudian
Andre telah duduk di sampingnya. Mereka menikmati DVD yang dibawa Andre.
Anime horor Another. Saat Donna sedang tegang menonton Another, tiba-tiba Andre mendorong dan memeluknya ke sudut sofa. Andre bermaksud untuk menciumnya. “Andre, kurasa….”
“Ehem. Malam minggu memang mendukung untuk suasana yang romantis.”
Donna
terkejut. Ia langsung bangkit setelah Andre melompat berdiri. Donna
merasa sangat malu. Wajahnya terasa panas dan pastinya memerah sampai
telinga. “Apa yang kaulakukan di sini? Bagaimana kau bisa seenaknya
masuk?” Donna berdiri, menatap angkuh pada Rafdy.
Rafdy mengangkat alisnya ─ Donna tahu, itu kebiasaannya ─
dan balas menatap Donna. “Apa kau tidak tahu? Pintu belakang tidak
dikunci. Kurasa Bi Tina lupa menguncinya.” Ia menatap Andre, membuat
cowok itu rikuh.
“Kurasa sebaiknya kau keluar, Rafdy!”
“Donna….” Andre berusaha menenangkan Donna, namun Donna tetap menatap angkuh pada Rafdy.
Rafdy
melipat lengannya. Malam ini ia mengenakan kemeja pantai dan celana
panjang hitam. Rambutnya dipangkas ala Tin-tin. Mau tak mau Donna
menyukai penampilan Rafdy. “Andre, sekarang sudah jam setengah sebelas
malam. Kurasa remaja seperti kalian tidak baik kencan terlalu malam.”
Andre
bermaksud menyanggah ucapan Rafdy, namun keduluan Donna, “oh, begitu?
Kurasa perbedaan usia kita hanya lima tahun. Kami mau kencan sampai jam
berapa pun, itu bukan urusanmu!”
“Jelas itu urusanku. Apa kau lupa bahwa aku ini calon Ayah tirimu?”
Sebelum
Donna sempat membalas kata-kata Rafdy, Andre memegang bahu Donna.
“Kurasa benar apa katanya, aku harus pulang.” Andre mengecup pipi Donna
ringan lalu tersenyum. “Sampai besok, Donna sayang.” Andre terseyum
hormat pada Rafdy, lalu pergi. Donna memandangi kepergian Panther hitam Andre melalui kaca jendela ruang tamu.
“Kau takkan pernah menjadi Ayah tiriku. Takkan pernah!” Donna mencengkeram tirai bercorak ikan tropis dengan latar biru laut.
Rafdy
memutar tubuh Donna sehingga mereka berhadap-hadapan. “Aku melakukan
hal itu demi kebaikanmu. Tadi kalian bisa saja lepas kendali.” Suaranya
tenang. Matanya yang hitam menatap langsung.
Donna
membelalakkan matanya. Suaranya bergetar marah saat berkata, “aku bisa
menjaga diriku sendiri! Dan kau, Rafdy, Ibu tidak mau melihatmu lagi!
Bukankah ia telah memutuskan hubungan denganmu?”
Rafdy mengangkat bahu. Ia berjalan ke ruang keluarga dan menonton anime horor Another yang masih diputar . “Retna takkan memutuskan hubungan denganku karena ia sangat mencintaiku. Begitu pun aku.”
Cinta? Kau tidak mencintai Ibuku, melainkan harta Ibuku! Dasar brengsek! maki Donna dalam hati. “Apa? Ibuku tidak memutuskan hubungan denganmu ─ oh!” Donna mengerang kesal dan putus asa. Jadi nasihat Kak Andi sama sekali tidak dipedulikan Ibu!
“Duduklah, kau tidak mau melanjutkan menonton anime ini?” Rafdy sama sekali tidak peduli akan kepanikan Donna.
“Tidak, terima kasih. Aku mengantuk.” Siapa sudi nonton berdua denganmu!
“Putih….”
“Apa?”
“Kulitmu putih walau kau sering berada di bawah terik matahari.”
Mata Donna yang cokelat muda menerawang. “ Turunan Ayah….”
Rafdy
bersandar di sofa empuk berwarna cokelat tua. “Jelas kau tidak menyukai
Ayahmu, lalu kenapa kau tidak mau aku menjadi Ayahmu?”
“Tidak!”
Donna menggeleng. Ia meremas tangan kirinya sendiri sambil menunduk.
“Aku memang tidak menyukai Ayahku, sebab ia pergi beberapa saat sebelum
Gema lahir. Tapi bagaimanapun, aku tidak ingin kau menjadi Ayah tiriku!
Karena kau hanya menginginkan harta Ibuku!”
Tiba-tiba
Rafdy bangkit dan mendekati Donna. Ia mencengkeram bahu Donna dengan
kuat. Matanya menyipit, menyelidik. “Jangan kauucapkan hal itu lagi, kau
tahu? Aku bukan orang tolol! Aku sungguh-sungguh mencintainya, dan aku
lebih baik dari Ayahmu yang tolol itu!”
“Jangan sebut Ayahku tolol!”
“Lalu apa? Bodoh?”
“Kau…!”
Bunyi
bel menghentikan pertengkaran mereka. Donna melepaskan diri. Ia
memunggungi Rafdy. “Silahkan menemui Ibuku. Tapi ingat, bukan berarti
aku menyetujui kalian. Rafdy, jangan hina Ayahku lagi….” Lalu Donna
pergi ke kamarnya di lantai atas, sebelum Rafdy membukakan pintu untuk
Retna dan kedua anaknya.
Donna
mengambil foto berbingkai cokelat muda di laci terbawah meja
belajarnya. Ia memandangi foto itu: Ibunya yang sedang mengandung, Dina,
Donna, dan Dhena yang digendong oleh seorang pria tampan. Ayah jahat!
Kenapa meninggalkan kami semua? Hanya karena wanita iblis itu! Air mata Donna menetes. Ia terus merutuki Ayahnya ─ Hery ─ sambil menangis, hingga terlelap di meja belajarnya.
***
“Kau
terlihat ling-ling, Donna. Ada apa?” Andre menyentuh pipi Donna dengan
jemarinya. Ia tersenyum sayang. “Kau bisa menceritakan masalahmu. Apakah
tentang Rafdy lagi?”
Donna
yang sedang bersandar di bahu Andre, mengangguk. Andre merangkul dan
menepuk-tepuk bahunya. “Ceritakanlah bila itu membuatmu sedikit lega.”
Donna
memandang ke sekitar taman kampusnya yang luas, yang dipenuhi mahasiswa
dan mahasiwi yang berlalu lalang, bangku taman, dan pepohonan hijau
rindang. Ia sedang berteduh di bawah pohon besar bersama Andre. “Apakah
selama ini aku salah, Andre? Aku selama ini menganggap bahwa Rafdy hanya
menginginkan harta Ibuku, tapi semalam ia bilang ‘tidak’.” Donna
mengangkat bahu. “Memang, adik-adikku, kakakku, kakak iparku, terutama
Ibuku, tidak terlalu ambil pusing menanggapi anggapanku tentang Rafdy.
Mereka menyukai Rafdy. Kak Dina dan suaminya, Kak Andi, hanya menaruh
sedikit curiga pada Rafdy. Kurasa kau pun….”
Andre mengangkat bahu. “Memang, aku menyukai dan menghormati Rafdy. “ Andre terlihat canggung.
“Tapi
aku merasa ia tidak sungguh-sungguh mencintai Ibuku…Memang tidak ada
buktinya. Malah sebaliknya, Rafdy terlihat sangat menyayangi dan
memanjakan Ibuku.”
Andre menepuk kedua pipi Donna. “Itu saja sudah cukup ‘kan?” Andre tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
***
“Baiklah, kau bisa diandalkan, bukan?”
“Ya, Retna.”
“Bagus.”
Retna cipika-cipiki sekilas dengan Rafdy. “Aku memercayakan urusan
kantor dan keluargaku padamu. Sampai nanti!” Retna menaiki Starletnya dengan anggun, melambai, lalu menghilang dari pandangan.
Rafdy berbicara dengan Bi Tina sebentar, lalu menaiki Taft hijau tuanya, meninggalkan kepulan asap yang membuat Bi Tina terbatuk-batuk.
***
“Apa? Ibu keluar kota untuk urusan bisnis lagi?” Donna meminum air dingin setelah selesai makan malam.
Bi Tina mengangguk. “Tapi Nona tidak usah khawatir karena Tuan Rafdy akan menemani.”
Donna mendengus. “Itulah yang kukhawatirkan. Bilang pada ‘Tuan’ Rafdy, kami tidak butuh perlindungannya.”
“Kurasa kalian membutuhkanku.”
Gema turun dari kursi dan ber-high five
dengan Rafdy. “Aku senang Paman mau menemani kami!” Ia melirik tas
hitam bergaris merah di dekat kaki Rafdy. “Bawaan Paman hanya sedikit?”
“Ya. Lagipula hanya tiga hari.”
“Waktu yang sangat lama.” Donna berusaha keras untuk tidak membentak-bentak dan mengusir Rafdy. Ia tidak ingin dianggap sinting
oleh kedua adiknya. Bi Tina sudah tahu bahwa Donna memusuhi Rafdy, pria
yang dianggap tertinggi, terganteng, termacho, dan terseksi yang pernah
ditemui oleh Bi Tini. “Maksudku, waktu yang amat sangat singkat, Paman Rafdy….”
Rafdy berusaha menyembunyikan senyumnya. “Tadinya Paman akan mengajak kalian makan pizza, tapi ternyata sudah telat, ya?”
“Kurasa perut kami masih muat, Paman!” Dhena menunjuk perutnya sambil nyengir. “Tambah ice cream?”
Tawa Rafdy terdengar memuakkan di telinga Donna. Bohong, kau menyukainya, Donna! Donna menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan pikiran sintingnya. Dengan halus Donna menolak ajakan Rafdy untuk makan pizza di Pizza Hut, dengan alasan harus belajar untuk ulangan besok.
Beberapa
menit kemudian Donna sedang membaca majalah sambil tiduran di kamarnya.
Ia tidak bisa berkonsentrasi sama sekali. Ia cemas memikirkan kedua
adiknya. Bagaimana jika kedua adiknya diculik, ditawan, Lalu Rafdy
meminta tebusan? Oh, tidak, tidak. Saat ini Donna lebih suka berpikir
bahwa Rafdy orang baik-baik, walaupun Donna ragu.
Paginya
Donna langsung ke kamar kedua adiknya. Donna menghela napas lega
melihat mereka tertidur nyenyak. Donna hampir berteriak saat Rafdy
menyentuh bahunya. “Kau membuatku terkejut!” Donna menutup pintu kamar
Dhena dan Gema lalu berjalan menuju balkon. Ia yakin Rafdy mengikuti di
belakang.
“Hawanya
sejuk.” Rafdy meregangkan ototnya. Donna hanya mengangguk tak acuh.
“Donna, aku takkan meminta maaf soal aku menghina Ayahmu, karena ia….”
“Karena
ia memang tolol yang…yang….” Tangisan Donna teredam oleh pelukan Rafdy.
“Lepaskan aku.” Bertolak belakang dengan ucapannya, Donna malah memeluk
Rafdy dan ia semakin membenamkan kepalanya ke dada Rafdy yang bidang
dan hangat. “Aku benci Ayah!”
Lengan
Rafdy melingkari tubuh Donna. Ia mengelus bahu Donna lalu memeluknya
dengan erat. Rafdy tidak mengucapkan apa-apa untuk menghibur Donna.
Hanya memeluk.
“Rafdy….”
“Ya….”
“Aku harus mandi…ada kuliah.”
Rafdy melepaskan pelukannya. “Mau diantar?”
“Tidak,
aku tak butuh.” Donna menatap Rafdy dengan bingung. “Aku tahu, aku
merasa nyaman sekaligus tidak nyaman dalam pelukanmu.”
“Kenapa?”
Ia tidak menjawab pertanyaan Rafdy. Donna malah tersenyum sinis, lalu ia masuk ke dalam.
Senyuman
menghiasi wajah Rafdy. Ia bersandar di sebuah pilar sambil melipat
lengan. “Kalau begitu, aku akan mencari tahu, Manis….” Suaranya nyaris
berbisik, dan penuh kerinduan.
“Hei,
Donna, ada yang jemput, tuh! Rafdy, kata Ibuku. Kau memberitahu akan
belajar kelompok di rumahku, Don? Bukankah kau tidak suka pada calon
Ayah tirimu itu?”
Donna
mengerutkan keningnya dan memandang Silvy, temannya. “Tidak, aku tidak
memberitahu Rafdy kalau aku di sini. Ini pasti kerjaan Andre!” Donna
mengerang kesal. Ia melihat jam di dinding, pukul 20.10. “Aku ‘kan sudah
bilang pada Andre kalau kau akan mengantarku pulang, Sil.”
Silvy mengangkat bahu. “Apa perlu kukatakan pada Rafdy bahwa….”
“Tidak perlu. Donna, ayo pulang.” Rafdy berdiri di muka pintu kamar Silvy. Ia mengenakan sweatshirt
biru dongker dan jeans biru pudar. “Selamat malam, Gadis-gadis.” Donna
tahu, pasti Silvy terpesona oleh senyuman Rafdy. Dan itu memang benar.
Sejak pertama bertemu, Silvy sudah terpesona, seperti halnya Bi Tina.
“Rafdy, kami masih belajar, jadi….”
“Ayo pulang, Donna.”
Dengan
kesal Donna merapikan alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia
tidak ingin membuat keributan di rumah Silvy, jadi ia tidak membantah
lagi. Dalam perjalanan pulang, Donna menyetel radio keras-keras.
“Kau menyetel musik tapi kau tidak menikmatinya.”
“Kata siapa?”
“Terlihat,
tentu saja. Kau memandang keluar jendela, diam, melamun.” Rafdy
memindahkan saluran radio. Terdengar alunan lagu yang lembut dan
romantis.
Donna tidak mencegahnya. Ia menatap keluar ke kegelapan malam. “Lalu apa urusanmu?” tanyanya ketus.
Tangan
kiri Rafdy menyentuh bahunya dan ia tidak berusaha menghindar. Rafdy
mengangkat sebelah alisnya, heran karena Donna tidak menolak. Seperti
tadi pagi, saat Rafdy memeluknya, Donna malah balas memeluk. “Donna, apa
kau benar-benar membenci Ayahmu?”
“Ya.”
“Tapi
kenapa kau tetap membela Ayahmu? Oh, aku tahu, kau pasti berpikir bahwa
orang hina sepertiku tidak pantas menghina Ayahmu.” Suara Rafdy tenang
tanpa emosi, hingga membuat Donna menoleh.
“Itu
salah satunya. Meskipun begitu, dalam lubuk hatiku, aku ingin Ayahku
kembali….” Lalu Donna tiba-tiba sadar. Ia menggigit bibirnya dengan
kesal. “Aku betul-betul bodoh. Aku tidak pernah bercerita pada siapa pun
tentang hal ini, tapi aku malah bercerita padamu!”
“Tidak juga pada Andre?”
Dengan enggan Donna menggeleng. Dalam kegelapan, Donna dapat melihat senyum Rafdy.
“Aku mendapat kehormatan, kalau begitu.”
“Ya, yang akan kusesali seumur hidupku.” Donna tersenyum pahit. Seandainya Ayah kembali, pasti Ibu takkan mau menerima. Pasti Ibu masih sangat sakit hati….”
***
Seminggu
setelah Retna kembali ke rumah, giliran Rafdy yang tugas keluar kota.
Pada hari kedua kepergian Rafdy, Rafdy menelepon. “Oh, hai, Paman. Kau
masih hidup?”
“Sayang sekali, aku masih hidup. Boleh aku berbicara dengan Retna?”
“Tidak, ia sedang berbelanja….”
“Berikan telepon itu, Sayang.”
Donna
memberikan telepon pada Ibunya sambil menggerutu lalu pergi ke ruang
keluarga sambil membawa majalah yang tadi dibacanya. Beberapa saat
kemudian Andre datang ke rumahnya. “Malam minggu ini kau terlihat
muram.” Andre duduk di sampingnya dan bermaksud merangkulnya. Tak
seperti biasanya, kali ini Donna menolak. “Donna? Kenapa? Kau tak suka
aku memelukmu?”
“Bukan, aku….”
“Apa ada pria lain?”
Donna membelalakkan matanya terkejut. “Aku tidak tahu, aku….”
“Aku tahu ada yang lain, Donna. Rafdy ‘kan.”
“Tidak! Apa kau gila! Dia kekasih Ibuku! Calon Ayah tiriku! Dan aku sangat membencinya!”
Andre menenangkan Donna. “Tak perlu marah. Aku tahu Donna, aku peka soal dirimu.”
Wajah
Donna memerah. Ia memejamkan matanya. Ia menyandar ke punggung sofa,
putus asa. Tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup kencang. “Aku tidak
tahu, Ndre. Aku benci Rafdy, tapi entah kenapa akhir-akhir ini aku
selalu salah tingkah di dekatnya. Tadi ia menelepon, dan aku kesal. Ia
menelepon Ibu, bukan aku.” Donna tertawa putus asa. “Aku sudah gila….”
Andre memeluknya. “Andre, maafkan aku….”
“Untuk saat ini biarkan aku memelukmu….”
***
Terkejut.
Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Donna
saat ini. Donna ternganga menatap sosok di hadapannya. “Ayah?”
Hery memandang Donna, matanya berkaca-kaca. “Kau banyak berubah, Donna. Kau tambah cantik dibanding dua belas tahun yang lalu.”
Donna ragu, dengan canggung ia memeluk Ayahnya. “Sepertinya Ayah tambah kurus.”
Hery merangkul putri keduanya itu dengan erat dan penuh kerinduan. “Donna, apa kau tidak membenci Ayah?”
Donna mundur selangkah. “Waktu itu Ayah khilaf, bukan? Ayah tidak sungguh-sungguh mencintai Tante Utami, bukan?”
Hery
memandangnya. “Dulu Ayah berpikir bahwa Ayah mencintai Tante Utami.
Tetapi setelah beberapa bulan menikahinya, Ayah baru menyadari siapa
yang benar-benar Ayah cintai….” Hery menahan tangisnya.
“Aku
dulu membenci Ayah. Tapi aku selalu memikirkan Ayah. Aku tahu dari Ibu
bahwa pernikahan Ayah hanya berlangsung beberapa bulan saja, bercerai,
tanpa anak.” Donna menggigit bibir bawahnya. “Kenapa Ayah tidak
kembali?”
“Setelah
Ayah bercerai dengan Tante Utami, Ayah pernah mencoba beberapa kali
agar Ibumu menerima Ayah lagi. Namun Ibumu selalu menolak. Dan menurut
Ibumu, anak-anak Ayah membenci Ayah, kau dan Dina tepatnya.
”Kakak,
ada siapa?” Dhena menghentikan langkahnya dan memandang pria yang
merangkul kakaknya itu. Ia berusaha mengenali wajah pria itu. “Wajahmu
mirip dengan di foto, pria yang menggendongku…apakah…Ayah?”
“Dhena Sayang….”
Dhena menghambur ke pelukan Hery. “Ayah, kau benar-benar Ayah? Ayah ke mana saja selama ini?”
Untuk kedua kalinya, Donna terkejut hari ini. Ia menatap Ibunya. “Apa? Jadi…?”
“Ya,
jadi beberapa bulan yang lalu Ayahmu kembali menemui Ibu. Dan setelah
berpikir masak-masak, akhirnya Ibu menyadari bahwa Ibu masih teramat
mencintai Ayah, dan ingin menikah lagi dengan Ayah.”
Donna,
Dina dan suaminya, kedua orang tuanya, dan Rafdy tengah duduk di ruang
keluarga. Dhena dan Gema sudah tidur di kamar mereka karena waktu telah
menunjukkan pukul 11.15. “Lalu bagaimana dengan Rafdy? Apakah ia bagian
dari sandiwara ini?”
“Pemeran utama. Rafdy adalah sahabat Ayahmu, yang mendamaikan kami.” Retna tersenyum pada Hery dan Hery merangkulnya hangat.
“Ibu….” Dina yang sedari tadi diam mulai bicara. “Apa maksudnya pemeran utama?”
Retna
mengangkat bahu. “Mengetes. Apakah kalian ini masih membenci Ayah atau
tidak. Ibu takut kalian tidak mau menerima Ayah karena Ibu tahu, kalian
tidak menyukai pengkhianatan Ayah seperti juga Ibu.”
“Jadi
Rafdy turun tangan.” Hery meremas tangan istrinya. “Dan 2 minggu yang
lalu, Donna mengakui isi hatinya tentang Ayah. Begitu juga Dina.”
Donna
memandang pria yang sedang diperbincangkan. Pria itu duduk dengan
santai di sofa. Kaki kanannya ditumpangkan di kaki satunya. Matanya yang
hitam balas memandang Donna. Ia sama sekali tidak tersenyum. Tiba-tiba
ia berdiri. “Oke, kurasa semua sudah beres. Aku harus menyingkir,
lagipula sudah malam.”
Hery memintanya untuk menginap namun Rafdy menolaknya dengan halus.
Donna
memandang kosong ke arah Rafdy yang meninggalkan ruang keluarga,
diantar Hery, Retna, Dina, dan Andi. Pergi? Menyingkir? Apakah maksudnya
Donna takkan bertemu lagi dengannya? Donna merasa dadanya sesak dan
tubuhnya gemetar. Ia langsung berdiri dan berlari mengejar Rafdy. Ia
sampai menabrak Ibunya di teras depan. Di halaman tempat Taft Rafdy
diparkir, Donna menarik tangan pria itu. Napas Donna tersengal dan tak
terasa pipinya telah basah. “Aku belum minta maaf padamu! Selama ini aku
selalu bersikap kasar!”
Rafdy
terkejut, hanya sedetik. Ia tersenyum dan menghapus air mata Donna.
“Wajar saja. Jika aku jadi kau, kurasa aku akan melakukan hal yang
sama.” Rafdy menatapnya lembut. “Baik-baiklah dengan Andre.”
“Kami
sudah putus.” ujar Donna cepat. Seperti dugaan Donna, Rafdy mengangkat
sebelah alisnya. Karena itu Donna meneruskan, “karena ada pria lain….”
“Begitu?”
“Pria itu…kau, Rafdy.”
Kali
ini Rafdy benar-benar terkejut. Ia memandang ke teras yang ternyata
telah kosong. Wajah Rafdy memerah dan ia berdiri canggung. “Aku tidak
tahu harus berkata apa.”
Donna
tersenyum. Ia mengusap air matanya yang masih terus mengalir. Ia
menahan rasa sakit di dadanya. “Aku tahu, kau benar-benar mencintai
Ibuku. Sikapmu pada Ibu sepertinya nyata.”
“Hei,
Nona, jangan sembarangan. Aku menghormatinya, tidak lebih.” Rafdy
menarik napas dan menghembuskannya perlahan. “Sebenarnya aku tidak suka
untuk mengakui rahasiaku. Sepuluh tahun lalu aku bertemu Ayahmu, dan Aku
jatuh cinta pada pandangan pertama padamu saat melihat fotomu yang
selalu dibawa-bawa Ayahmu.”
“Kau bohong!” Jantung Donna berdegup kencang.
Rafdy
menyelusupkan kedua tangannya ke belakang leher Donna, menyibakkan
rambut panjang Donna, dan menariknya mendekat. Angin malam menerpa
mereka, membuat Donna menggigil. Rafdy mempererat pelukannya. “Sungguh.
Tapi aku agak takut juga saat kau memelototiku sewaktu Retna
memberitahukan bahwa kami berpacaran.” Rafdy tersenyum mengingat hal
itu. “Apakah kau sungguh jatuh cinta padaku?”
“Ya….”
“Boleh aku tahu ucapan nyaman tidak nyaman itu?”
“Yah, aku merasa aneh…entah kenapa aku merasa nyaman dalam pelukanmu, tapi tentu saja tidak nyaman
karena kau pacar Ibuku….” Donna tersipu. Ia mencengkeram kemeja Rafdy.
“Tadi kau bilang akan menyingkir? Jangan pergi, Rafdy. Tetaplah di
sini.”
“Aku
hanya pulang ke apartemenku, karena sudah malam.” Rafdy tidak bisa
menahan senyumnya. “Yah, tadinya aku berniat pulang ke kota asalku, tapi
karena ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan, jadi…aku akan tetap
di sini menemanimu.”
Donna tersenyum penuh harap. “Sungguh?”
“Benar. Kalau begitu, kau mau menjadi kekasihku?”
“Mau!” Donna menjawab dengan semangat.
“Baiklah,
selamat malam.” Rafdy melepaskan pelukannya dengan enggan, karena
sebenarnya ia masih ingin memeluk Donna. “Boleh aku mengantarmu ke
kampus besok?”
Donna mengangguk. “Sampai besok! Oyasuminasai!”
“Apa?”
“Have a nice dream.” Donna mengecup pipi Rafdy dengan malu-malu, lalu berlari masuk ke dalam rumah.
Rafdy terkejut karena Donna mencium pipinya. Ia tersenyum lembut. Ia berbalik dan menaiki Taftnya, lalu melajukan Taftnya dengan santai, sementara dadanya bergemuruh. Yes, akhirnya Donna jatuh cinta padaku!
Rafdy tidak bisa tidak tersenyum. Ia bersiul-siul gembira menuju
apartemennya. Ia berpikir ia tidak akan bisa tidur, tak sabar menanti
hari esok untuk bertemu kembali dengan Donna, gadis yang selama sepuluh
tahun ini selalu dirindukan dan hadir dalam setiap mimpi-mimpinya!